Rabu, 16 Agustus 2017

CERITA SEX MERAWAT KAKAK IPAR YANG BARU MENIKAH

Cerita Dewasa, Cerita Sex, Cerita Sex Dewasa, Kumpulan Cerita Dewasa, Kumpulan Cerita Sex

Aku biasa di panggil Kun. Kedua orang tuaku sudah meninggal, ketika itu aku baru kelas 2 SMP, Aku terpaksa ikut Mas Pras. Dia adalah anak ayah dari istri pertama, Jadi aku dan Mas pras lahir dari ibu yang berbeda. Mas Pras (30 tahun) orangnya baik dan sayang kepadaku, tapi istrinya.... wah judes, dan galak.




Ketika ibuku meninggal, yang mengakibatkan aku jadi sebatang kara di dunia, Mas Pras baru seminggu menikah. Kehadiranku di keluarga baru itu, tentu sangat mengganggu privasi mereka. Rumah kontrakan sempit hanya ada tiga ruang. Kamar tidur, kamar tamu dan dapur.
Aku merasakan sikap yang kurang enak ini sejak aku hadir di situ. "Kun, kamu tidur di kursi tamu dulu ya .. atau di karpet juga bisa. Kamu tau kan, memang tidak ada tempat?" Mas Pras menyapaku dengan lembut. " Sama mbakmu harus nurut.

Bantu dia kalau banyak pekerjaan" Aku hanya mengangguk. Aku tidak begitu akrab dengan Mas Pras, karena memang jarang bertemu. Aku di jogja, Mas Pras kerja di Semarang. Nengok ibu (tiri) oaling setengah tahun sekali. Sambil mengirim uang buat biaya sekolah aku. Kakak lalu berangkat kerja. Dia adalah sopir truk antar propinsi. Saat itu aku putus sekolah.

Di Jogja belum keluar, tapi di semarang belum masuk ke sekolah baru. Sehari-hari di rumah sempit itu menemani kakak ipar yang baru seminggu ini kukenal. Rasanya aku tidak krasan tinggal di "neraka" ini. Tapi mau ke mana dan mau ikut siapa? Pagi itu aku sudah selesai menjemur pakian yang di cuci mbak Nasrih. Kulihat dia lagi sibuk di dapur. "Mbak, saya di suruh bantu apa?" aku mencoba pdkt dengan Mbak Nasrih.

"Cah lanang, biasanya apa. Sana ambil air, cuci gelas, piring dan penuhi bak mandi. "Sakit telinga dan hatiku mendengar perintahnya yang kasar. Tanpa ba-bi-bu semua kulaksanakan. karena tak ada lagi yang mesti di kerjakan lagi, iseng iseng aku nyetel radio kecil di meja tamu (Kakak gak punya tivi) " E.. malah dengerin radio..... sama belanja ke warung" aku diberi daftar belanjaan. Untungnya aku sudah biasa membantu Ibu ketika beliau masih ada. Aku hidup bersama Ibu sejak kecil, karena ayah sudah lama meninggal. Agak jauh warung itu.

Aku tidak malu malu dan canggung beli sayuran, malah Bu Salamun, yang jual sayur heran, "Mbok, nyuruh pembantunya to cah bagus. Kok belanja sendiri."Aku cuma senyum saja. "Ini mbak belanjaannya. Ini susuknya." Kuserhakan tas kresek dan uang kembalian, tapi Mbak Nasrih tetp sibuk marut kelapa.

Kutaruh saja tas kresek itu di kursi kayu dekat kompor minyak. memang kesannya dia baru marah. Padahal aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Tanpa disuruh aku ikut mengupas bawang, memetik sayur dan menyiapkan bumbu yang tadi ku beli. "Mau bikin sayur lodeh, to Mbak?" "Sok tau...." jawabnya dengan ketus. Dia mulai masak. Aku keluar saja.

Adanya rasa negeri deket deket orang marah. Di luar aku nggak berani dengerin radio lagi. Ingin rasanya aku menangis dan pergi dari rumah ini. Aku duduk di teras rumah melihat orang berlalu lalang di depan rumah. Tiba tiba aku membaui masakan yang gosong.

Tapi aku tidka berani masuk. Takut di bentak istri Mas Pras yang cantik tapi galaknya pol itu. " Kunnn... sini' Mbak Nasrinh berteriak memanggil. Aku bergegas masuk. Kulihat dapur berantakan. panci sayur di lantai, sayur tumpah. kursi tempat menaruh bumbu sudah terguling. Bumbubertebaran di lantai.

Dan…. kompor menyala besaar sekali. Untung aku tidak ikut panik dan bisa berpikir cepat. “Mbaaaakk…kenapa tanganmu?” Kulihat tangannya merah melepuh, Tangan Mbak Narsih sepertinya ketumpahan kuah tapi perhatianku lebih tertuju pada kompor yang menyala besar sekali,. Cepat kuambil keset di ruang tamu, kubasahi dengan air cucian dan kututupkan ke kompor yang menyala itu.

Sesaat kemudian kompor itu padam. Cepat kupetik papaya di depan rumah ( padahal itu milik tetangga) kubelah pakai pisau. Lalu getahnya kuusapkan ke tangan Mbak Narsih yang melepuh. “Jangan…nanti sakit….ngawur….aduuuuh,,,” Mbak Narsih menangis dan aku nekad merawat & menutup lukanya iu dengan sayatan-sayatan papaya mentah.

Luka itu akhirnya tertutup semua dengan sayatan buah papaya. Keliatannya usahaku berpengaruh. Mbak Narsih agak tenang sekarang. “Sudah dingin, Mbak?” aku menatap dengan iba kakak iparku yang malang ini. Air matanya meleleh.

Dia diam membisu sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Pasti panas dan perih, aku tahu itu. “Kun, kita gak bisa makan siang.” Akhirnya keluar suara Mbak Narsih, pelan tidak galak lagi.“Wis Mbak, istirahat saja, masih sakit kan?” kutegakkan kursi yang terguling dan kutuntun Mbak Narsih duduk. Dapur segera kubersihkan.

Kompor bisa menyala lagi. Sisa-sisa bumbu yg ada kupakai untuk masak sayur pepaya. Aku sudah terbiasa membantu Ibu, jadi ini hanya suatu kebiasaan. Mbak Narsih hanya melihat aku sibuk di dapur tanpa komentar. Dia terus-terusan mengaduh kesakitan.
Tapi aku mendahulukan selesainya pekerjaan di dapur. Sayur sudah masak. Nasi sudah ada. Semua kuatur di meja tamu yang sekaligus menjadi meja makan. “Mbak, mau makan? Tak ambilke, ya?” Mbak Narsih hanya memandangku dengan mata basah.

“Kun, kamu baik, ya? Terimasih, ya Dik, tapi kedua tanganku melepuh begini, dan ini perutku perih sekali. Kulihat perut Mbak Narsih, Astaga…. Ternyata daster sebelah kiri sudah terbakar dan perut Mbak Narsih bengkak kemerah-merahan. Aku cari sisa-sisa irisan papaya tadi. Aku parut lembut dan kuparamkan di perutnya.

Waktu itu aku tidak berpikir macem-macem, karena perhatianku pada penderitaannya. Dia agak tenang sekarang. “Ambilkan daster Mbak yang utuh di lemari, Kun. Yang kupakai ini dibuang saja, sudah separo terbakar.” Aku ambilkan daster pink di lemari lalu….aku berhenti dan termangu di depan Mbak Narsih. “Ayo, buka daster yang terbakar ini. Tolong diganti dengan yang kamu ambilkan tadi.” Mbak Narsih melihat keraguanku tadi.

‘Pelan, pelan…. Ada yang masih lengket di kulit…ssss… adduuuh” Akhirnya daster itu bisa kulepas. Baru kali ini aku melihat dengan jelas dan dari dekat, wanita setengah telanjang. Mbak Narsih berkulit putih bersih. Perutnya rata dan…. yang terbungkus di bra hitam itu bulat putih dan besaar. Aku terpesona sesaat. “Ayoooo….. dingiiin, Kun. Cepat ambil daster pink itu” aku tersadar dari pesona keindahan di depanku segera memakaikan daster itu. Siang itu aku menyuapi Mbak Narsih. “Enak, Kun, masakanmu.
Kamu kok bisa masak, to?” “Halah, aku Cuma liat Ibu masak dan sering membantu Ibu.” Tapi dalam hati aku bangga memperoleh perhatian seperti itu. Lik Yanto dan Mbak Saodah, isterinya, datang menengok dan memberi salep dingin.

Tiap hari, pagi dan sore aku mengolesi luka-lukanya. Kedua tangan, jari, dan perutnya. Tiga hari aku merawat Mbak Narsih ……. selama merawat suasana sudah berubah total. Keadaan dia, dua tangannya nyaris nggak bisa pegang apapun. Telapak tangan melepuh, membuat dia menyadari bahwa saat itu, aku diperlukan merawat nya, selama Mas Pras belum pulang.

Karena tiap pagi dan sore, mengepel tubuhnya, aku bisa melihat dari dekat seperti apa tubuh wanita dewasa itu. Saat aku mengelap tubuhnya, aku jadi tau, bentuk payudaranya yang bulat dan kenceng, putingnya yang coklat dipucuk gunung putihnya, Saat kulepas celdamnya, bisa kulihat bibir bawahnya yang indah berambut tipis. Pangkal pahanya lebih putih daripada sekitarnya. Memang Mbak Narsih wanita cantik sempurna.

Kakakku tidak salah memilih pasangan hidupnya. Mas Pras ganteng, Mbak Narsih cantik. Hidungnya mungil tapi tidak pesek. Runcing indah di atas bibirnya yang mungil. Seperti artis, tapi tubuh kakakku jauh lebih besar dan lebih tinggi. Tanpa kusadari, aku kok merasa asyik merawat kakakku ini. Pengen nya hari segera sore atau kalau malam ingin segera pagi.

Ada kerinduan untuk merawat dan melihat keindahan itu. Ah, berdosakah aku? Sering aku diam melamun diombang-ambingkan perasaan ingin menikmati tapi juga merasa bersalah kepada Mas Pras. Setelah tiga hari hanya di lap dan dipel dengan handuk basah., pagi itu dia minta dimandikan dengan air hangat. Kusiapkan air hangat di baskom. Mbak Narsih duduk di kursi kayu, kamar mandi kubiarkan terbuka, agar ruangan lebih luas dan aku bisa ikut masuk mengguyur tibuhnya dan memandikannya.

Aku merasakan kehalusan kulitnya saat aku menyabuni tubuhnya. Pahanya yang mulus dan bersih, pundak dan lehernya yang jenjang dan putih. Tadinya aku ragu-ragu untuk menyabuni susunya. Tapi Mbak Narsih dengan “marah” memaksaku menyabuni bukit kembarnya itu. “Kun, terus saja gosok dan putar-putar di situ, biar bersih.” perasaan sudah bersih banget, kenapa disuruh menyabuni terus. Melihat kemontokannya terasa celanaku jadi sempit.

“Nah. Diputar putar gitu, Kun. Terus dari bawah diangkat sambil digosok.” Mbak Narsih terus member pengarahan. Kusangga payudaranya naik, lalu sedikit kuremas dan kupijit. Mbak Narsi tidak protes, Cuma memandang ke payudaranya yang semakin menggembung montok itu. Apalagi kedua tangannya diangkat naik karena takut telapak tangannya yang luka terkena air, sehingga keteknya yang bermbut tipis itu terbuka lebar.

Payudaranya terangkat naik. “Sekarang, ambil air lagi, diguyur pelan-pelan. Sambil dihilangkan sabunnya.” Kuguyur merata, dan sisa-sisa busa larut ke bawah menampakkan kecerahan kulitnya yang semakin terang. Aku yakin tanpa lampu pun kamar mandi itu akan terang benderang karena kecerahan kulitnya.“Dikosoki, Kun biar dakinya ilang.” Mbak Narsih mengulang lagi. Mulutku terkatub rapat sambil menggigit bibir, menahan perasaan aneh di hati, kugosok-gosok sisa sisa sabun yang terasa licin itu.


Memang enak rasanya menyentuh daging empuk ini. Aku malah setengah meremas pada ujung-ujungnya. Aku heran kenapa pucuknya keras. kenapa setiap aku remas ujung susunya, Mbak Narsih memejamkan matanya. “Masih sakit, Mbak?” Dia Cuma menggeleng tapi tetap mata terpejam.

"Kun, sudah tiga hari ini mbak nahan untujk tidak ke WC, tapiperutku sudah sakit banget. Aku mau ke WC, nanti tolong kamu semprot ya anuku, pakai toler air. Terjangkau masih melepuh." Mbak nasrih jongkok di WC, pintu ketutup. Wah, baunya sampai juga di luar. Aduh, Tugas berat nih, keluhku dalam hati membayangkan kotoran dan baunya saja sudah begitu menyengat. Ku pijit hidungku. " Kun, buka pintu WC dan semprot aku ya" kudengar suara dari dalam. 

Sudah kusiapkan air yang kuberi sedikit obat pel yang wangi. kubuka kran dan kutembakkan “water kanon” itu untuk membersihkan kotoran yang menempel di sana. Lalu Mbak Narsih membalikkan badan, membelakangiku. Pantatnya yang besar dan putih itu terpampang di hadapanku,”Semprot, Kun….!” Aku arahkan dari bawah air itu menyemprot lubang anusnya. “Sudah bersih belum Kun?” Mbak Narsih nungging, terlihat dua lubang dobel.

Berwarna pink semuanya. Ooo, seperti ini bentuk tempik perempuan dewasa dari dekat? Celanaku semakin mengggembung. “Sudah belum? Kok lama sekali lihatnya?” dia protes “SSssuudah…Mbak, jelas sekali…eeehh bersih sekali” aku jadi salah tingkah dan keseleo lidah. “Sekarang ambil sabun. Tolong sabunilah biar hilang baunya. Tanganmu gak akan kena kotoranku lagi” Haaaa…. Menyabuni “ituuu?” Aku kok jadi bersemangat, tapi kusembunyikan kegiranganku itu dengan bersikap senormal dan setenang mungkin.

Kugosok anusnya dengan sabun, lalu kemaluannya secukupnya, kemudian kubilas lagi dengan semprotan air wangi tadi.. pinginnya aku mau lama-lama, tapi aku malu. Waktu meraba belahan kemaluan Mbak Nasrih tadi, punyaku berkedut kedut hebat seperti mau kencing ." Kun, kok cepet cepet, ya nggak bersih dong." sergah Mbak Nasrih dengan raut marah. " Ayo lagi" Aku ambil sabun lagi. Lubang duburnya kuusap-usap pelan, dari belakang kulihat bokong putih itu terangkat-angkat saat aku mengusap tadi.

Seluruh permukaan bokongnya kusabuni dengan penuh perasaan. O, bersihnya..ooo putihnya.. Lalu kutelusupkan jariku maku ke garis di depan sana. Ternyata jariku keceplos ke dalam alur yang basah dan hangat. Di dalam terasa ada kedut-kedut yang menjepit jariku. Seperti aliran listrik, menjalar ke celana dalamku terasa juga kedutan kedutan liar yang semakin terasa. "Tenrus saja,kun teruuss.. nah .. pinter kamu,Kun.." Mbak Nasrih mengguman seperti ngomong sendiri. Aku semakin tidak bisa menahan kedutan di celanaku. tak terasa dan tak kusadari, jariku bergerak menusuk semakin dalam ke sana seiring rasa yang kurasakan.

Ujung jariku terasa menggapai-gapai sesuatu yang menonjol di dalam sana dan mbak Nasrih mendesis " Aaaahhh.. ssshhh..." mendengar rintihan mbak Nasrih, aku semakin menderita karena ada semacam gelombang getaran yang mau menjebol benteng. Jariku bergerak maju mundur semakin cepat, dan gelombang itu semakin mendekat.

"Aaaaahhhhhh.... Mbak..." Bersamaan dengan itu Mbak Nasrih juga merintih,"Ahh sssshhh,,, aku keluarrr... ooohhhh" Aku merasa ada yang keluar di celanaku. Aku ngompol! Padahal aku tidak tidur? Tapi kok enaak sekali? Tiba tiba aku merasa malu, takut kalau Mbak Narsih kelihatan lemes tapi wajahnya mengekspresikan kepuasan.

Setelah kulap dengan handuk seluruh tubuhnya, aku kenakan daster yang bersih, Rambutnya aku sisir tapi , Mbak Nasrih diam saja dengan sikap manis. Pagi ini terlihat dia sangat cantik. Sambil menyisir rambutnya, ku pandangi sepuasnya makhluk cantik di hadapanku sepuas-puasnya. Seminggu kemudian Mas Pras pulang. Perban sudah dilepas, tapi tangan jadi belang. "Kenapa sih tanganmu?" Mas Pras terlihat kwatir. "Kompornya meledak. Untuk ada pahlawan kecilmu." Mas pras mengelus kepalaku, dia tersenyum.

Aku jadi bangga campur malu. Aku khawatir Mbak Narsih cerita kalau aku menyeboki dia. Aku berdebar debar terus. Untung Mbak Narsih malah cerita kalau aku ternyata pinter masak dan merawat. " Dik Narsih, kun tadi juara masak dalam lomba masak di sekolahnya. Dia juga bintang lapangan basket."






Artikel Terkait

CERITA SEX MERAWAT KAKAK IPAR YANG BARU MENIKAH
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email